Ustadz Abdurrahman Muhammad
(Pimpinan Umum Hidayatullah)
Wasathiyah adalah pertengahan, artinya wasathiyah dalam beribadah adalah
mengambil pertengahan dalam beribadah yang artinya tidaklah
berlebih-lebihan. Sebagaimana Allah swt telah berfirman dalam Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 143 yang Artinya :
"Dan
demikianlah pula kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat
pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu. (QS. Al-Baqarah : 143).
Diantara manusia ada orang yang berkecendrungan untuk bersikap ekstrim,
berlebih-lebihan. Jika memilih belok ke kanan, maka terlalu kanan. Jika
memilih belok kiri, terlalu ke kiri.
orang yang selamat adalah mereka yang mengambil sikap pertengahan, dalam
segala hal. Tidak terkecuali dalam urusan beragama. Rasulullah saw
mengajari umatnya untuk bersikap tengah-tengah. Rasulullah saw
menjelaskan "khairul umuuri ausatuha"' sebaik-baik urusan adalah
pertengahan.
yang dimaksud pertengahan dalam beragama adalah tidak berlebih-lebihan
dalam beragama sehingga melampaui batas yang ditetapkan Allah ta'ala dan
Rasulnya. Juga tidak terlalu menyederhanakannya sehingga mengurangi apa
yang telah ditetapkan syariat.
Bersikap wasathiyah berarti berpegang teguh pada sirah Nabawiyah tanpa
melebih-lebihkan atau mengurangkan. Berlebih-lebihan bisa menerumuskan
kita pada bid'ah dan sebaliknya jika terlalu menyederhanakannya maka
bisa mengantarkan kita pada sikap lalai.
Untuk mengukur, apakah sikap kita termasuk berlebih-lebihan atau
cendrung menyederhanakannya, maka sirah nabawi menjadi tolok ukurnya.
Itulah sebabnya, mempelajari, memahami dan mengikuti sirah Nabi
merupakan sesuatu yang wajib. Tanpa memahami sirah Nabawi, kita bisa
terjebak pada salah satu sisi ekstrim yang merugikan diri orang lain.
Fenomena terjadinya sikap berlebihan sebenarnya pernah dialami para
sahabat. Saat itu sekelompok orang sedang berkumpul dalam satu majlis,
tiba-tiba slah seorang di antara mereka berkata, "Saya akan bangun
(Qiamul lail) dan tidak tidur." Seorang lagi berkata," Saya akan
berpuasa terus tanpa makan." Seorang lagi berkata," Saya tidak akan
menikahi wanita."
Berita tersebut sampai kepada Rasulullah saw, kemudian beliau merespon :
"Kaliankah
yang mengatakan begini dan begitu ? Adapun saya, demi Allah adalah
orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dari pada
kalian, tapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, serta
menikah dengan wanita. Barang siapa yang benci kepada sunnahku, maka dia
bukan bagian dariku," (HR. Bukhari Muslim).
Melalui hadits diatas Rasulullah menegaskan bahwa orang yang menolak
sikap wasathiyah berarti membenci sunnah Rasulullah saw, dan orang yang
membencu sunnah Rasul tidak diakui sebagai umat Rasul. Rasulullah
berlepas tangan dari tanggung awab tersebut.
Sebagai Rahmat, Islam dengan syariatnya dirancang agar bisa dilaksanakan
oleh semua kalangan. yang miskin dapat melaksanakan, sedang yang kaya
tidak terbebani. yang muda merasa ringan dan yang tua tidak keberatan.
yang sibuk tetap memiliki kesempatan, yang longgar , tetap semangat
mengerjakan. Inilah keseibangan syariat islam.
Jika Rasulullah saw membenci orang yang berlebih-lebihan dalam beragama,
beliau juga tak kalah bencinya kepada mereka yang
meringan-ringankannya. Syari'at agama ini sudah ringan dan mudah, jangan
dianggap mudah. Laksanakan apa adanya, tanpa memaksakan diri, juga
tidak mendiskonnya.
Begitulah cara beribadah kaum pertengahan, Ummatan wasatha. Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan dan meneladaninya. Wallahu a'lam.