Shalat yang Merehabilitasi Mental

MUNTAMAR
0

Sejak wahyu al-Qur’an turun pertama kali, janji sekaligus harapan kemenangan sebenarnya sudah diperuntukkan bagi kaum Muslimin. Janji kemenangan itu diulang-ulang dalam lantunan adzan yang dikumandangkan setiap waktu. Hayya’ala al-falah. Mari songsong dan rebut kemenangan.

Janji Allah swt itu mutlak pasti terjadi. Namun sebelum itu, membutuhkan usaha dan kesungguhan. Setidaknya dengan memenangkan pertarungan pada setiap panggilan shalat lima waktu. Bahwa shalat bukan hanya ibadah secara ritual saja, tetapi juga sebagai syarat kemenangan yang diharapkan.

Peluang sekaligus tantangan ini penting untuk selalu diulang-ulang dan disegerakan kepada seluruh kaum Muslimin. Sebab disadari, the clash of civilization (benturan peradaban) itu memang terjadi. Tak bisa dihindari.

Ada pertarungan abadi dalam kehidupan manusia. Antara para pengusung kebenaran (al-haq) dan kebaikan (ahlu al-khair), dengan mereka yang lebih suka dengan kesesatan (al-bathil) dan kejahatan (ahlu asy-syar).

Apalagi, ajaran Islam bersifat universal, mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dan lingkungan alam sekitar. Dalam al-Qur’an biasa disebut kaffatan linnas (menjangkau segenap umat manusia), dan rahmatan lil’alaminI (rahmat untuk seluruh alam semesta).

Untuk itu, menghadapi potensi benturan tersebut, jauh-jauh hari Allah swt telah mempersiapkan segala sesuatu melalui al-Qur’an. Hal itu juga diajarkan secara tuntas kepada Rasulullah Muhammad saw melalui teladan dalam keseharian.

Menyerap Mukjizat

Realitasnya, bisa dikata sebagian kaum Muslimin di lapangan belum mampu memberi warna kepada umat manusia dan lingkungannya. Peradaban modern terus berkembang tanpa nyaris tersentuh oleh shibgah (celupan) agama. Umat Islam justru seperti jadi bulan-bulanan rezim penguasa zhalim. Akibatnya, sebagian jadi kehilangan kepercayaan diri. ‘Izzah (kemuliaan) Islam seolah tergerus dan mereka tak lagi merasakan wibawa itu.

Timbul pertanyaan, apakah resep yang telah Allah swt turunkan masih ada kekurangan ? apakah ajran Islam punya kelemahan dan ketidak beresan? Sehingga teori-teori perjuangan dan jurus-jurus kemenangan itu seperti tidak mempan.

Jaminan kemenangan yang pasti datang dari Allah swt, kini tampak mulai diragukan. Padahal, ibarat kendaraan, perangkat onderdilnya belum terpasang dengan benar. Teori-teori dan buku petunjuk saja belum semuanya dibaca dengan tuntas. Sehingga jangankan berfungsi dan menghasilkan produk secara maksimal, jejaring dan instrumen kemenangan pun masih perlu dibenahi.

Akibatnya, umat Islam yang secara jumlah mayoritas menjadi tidak fungsional secara kualitas. Mereka juga kehilangan potensi dan terlihat tidak mampu mengambil peran sebagaimana mestinya.

Islam belum lagi menjadi sumber kekuatan layaknya pemuncak peradaban manusia pada masa kegemilangannya dahulu. Ini tentu bukan karena Islam tidak berdaya atau Tuhan yang sudah kehilangan kekuasaan. Tapi karena Islam ditampilkan tidak sesuai dengan desain yang benar sesuai petunjuk-Nya.

Padahal, jangankan al-Qur’an sebagai mukjizat secara keseluruhan. Perintah shalat saja sudah luar biasa jaminan kehebatannya. Sayang, jujur diakui bahwa kekuatan shalat yang kita kerjakan belum pernah dirasakan selain untuk menggugurkan kewajiban saja.

Kita semua tentu bersyukur masih terpanggil untuk menunaikan shalat lima waktu. Namun apa yang kita dapatkan dari rukun Islam kedua ini?

Sebagian kita harus mengaku bahwa rasa itu masih terlalu hambar. Bahkan nyaris hampa. Tidak ada getaran apa-apa dalam diri usai mengerjakan shalat.

Rasanya kita belum berhasil merehabilitasi mental dan jiwa. Sehingga perasaan dan suasana hati seolah tidak berbeda antara shalat dan diluar shalat. Padahal shalat adalah wahana kontak dan komunikasi secara langsung antara hamba dengan penciptanya.

Kondisi demikian tentu indikasi bahwa shalat tersebut belum menghasilkan apa-apa. Kecuali gugurnya kewajiban saja.

Momentum

Setali tiga uang, kondisi serupa sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Kaum non-Muslim juga tengah menghadapi persoalan yang tak kunjung ada habisnya.

Peradaban materialisme dan kapitalisme yang diusung oleh negara-negara besar sedang menuju titik jenuh. Masyarakat Barat dilanda krisis moral. Dimana-mana terjadi demontrasi. Rakyat mulai menggeliat. Mereka perlahan muak dan jijik dengan slogan kebebasan yang digaungkan selama ini. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen muncul, sebagai bentuk protes kebijakan para penguasa.

Sejumlah keresahan ini tentu harus ditangkap sebagai peluang dan tantangan. Jika masyarakat dunia mulai resah, lalu apa yang Islam tawarkan dan sodorkan pada mereka?

Ini bukan sekadar yang terbilang strategis. Lebih dari itu, ini adalah tanggung jawab Islam menebar pesona sebagai rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.

Tak perlu menghabiskan waktu mengurus persoalan yang sifatnya remeh-temeh. Cukup fokus saja memunculkan pesona Islam tersebut sebagai kekuatan dan jaminan kemenangan.

Dengan kesadaran panggilan iman dalam merehabilitasi mental dan kondisi umat Islam, maka bukan hal fantastis atau mustahil Allah swt berkenan memberikan bantuan dan pertolongan-Nya. Yakni mengubah nasib umat Islam menjadi pemenang sekaligus mengatur setiap urusan dalam kehidupan manusia.

Di sinilah pentingnya kalimat syahadat benar-benar diresapi oleh jiwa-jiwa setiap Muslim. Masalahnya, harus jujur diakui pula, kita belum mendalami secara intensif dan serius kajian Islam tentang potensi kekuatan syahadat. Kebanyakan, syahadat hanya dikenal sebagai rukun Islam pertama saja. Tanpa tahu lebih jauh dahsyatnya kekuatan syahadat itu. Padahal, jika ucapan ini betul-betul berkecambah niscaya akan melahirkan satu sikap mental dan kesadaran yang luar biasa bagi setiap orang beriman.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)