Sejak wahyu al-Qur’an turun pertama kali, janji sekaligus harapan kemenangan sebenarnya sudah diperuntukkan bagi kaum Muslimin. Janji kemenangan itu diulang-ulang dalam lantunan adzan yang dikumandangkan setiap waktu. Hayya’ala al-falah. Mari songsong dan rebut kemenangan.
Janji Allah swt itu
mutlak pasti terjadi. Namun sebelum itu, membutuhkan usaha dan kesungguhan. Setidaknya
dengan memenangkan pertarungan pada setiap panggilan shalat lima waktu. Bahwa shalat
bukan hanya ibadah secara ritual saja, tetapi juga sebagai syarat kemenangan
yang diharapkan.
Peluang sekaligus
tantangan ini penting untuk selalu diulang-ulang dan disegerakan kepada seluruh
kaum Muslimin. Sebab disadari, the clash of civilization (benturan
peradaban) itu memang terjadi. Tak bisa dihindari.
Ada pertarungan abadi
dalam kehidupan manusia. Antara para pengusung kebenaran (al-haq) dan kebaikan
(ahlu al-khair), dengan mereka yang lebih suka dengan kesesatan (al-bathil) dan
kejahatan (ahlu asy-syar).
Apalagi, ajaran
Islam bersifat universal, mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dan
lingkungan alam sekitar. Dalam al-Qur’an biasa disebut kaffatan linnas
(menjangkau segenap umat manusia), dan rahmatan lil’alaminI (rahmat
untuk seluruh alam semesta).
Untuk itu,
menghadapi potensi benturan tersebut, jauh-jauh hari Allah swt telah
mempersiapkan segala sesuatu melalui al-Qur’an. Hal itu juga diajarkan secara
tuntas kepada Rasulullah Muhammad saw melalui teladan dalam keseharian.
Menyerap Mukjizat
Realitasnya, bisa
dikata sebagian kaum Muslimin di lapangan belum mampu memberi warna kepada umat
manusia dan lingkungannya. Peradaban modern terus berkembang tanpa nyaris
tersentuh oleh shibgah (celupan) agama. Umat Islam justru seperti jadi
bulan-bulanan rezim penguasa zhalim. Akibatnya, sebagian jadi kehilangan
kepercayaan diri. ‘Izzah (kemuliaan) Islam seolah tergerus dan mereka
tak lagi merasakan wibawa itu.
Timbul pertanyaan,
apakah resep yang telah Allah swt turunkan masih ada kekurangan ? apakah ajran
Islam punya kelemahan dan ketidak beresan? Sehingga teori-teori perjuangan dan
jurus-jurus kemenangan itu seperti tidak mempan.
Jaminan kemenangan
yang pasti datang dari Allah swt, kini tampak mulai diragukan. Padahal, ibarat
kendaraan, perangkat onderdilnya belum terpasang dengan benar. Teori-teori dan
buku petunjuk saja belum semuanya dibaca dengan tuntas. Sehingga jangankan
berfungsi dan menghasilkan produk secara maksimal, jejaring dan instrumen
kemenangan pun masih perlu dibenahi.
Akibatnya, umat Islam yang secara jumlah mayoritas menjadi tidak fungsional secara kualitas. Mereka juga kehilangan potensi dan terlihat tidak mampu mengambil peran sebagaimana mestinya.
Islam belum lagi
menjadi sumber kekuatan layaknya pemuncak peradaban manusia pada masa
kegemilangannya dahulu. Ini tentu bukan karena Islam tidak berdaya atau Tuhan
yang sudah kehilangan kekuasaan. Tapi karena Islam ditampilkan tidak sesuai
dengan desain yang benar sesuai petunjuk-Nya.
Padahal, jangankan
al-Qur’an sebagai mukjizat secara keseluruhan. Perintah shalat saja sudah luar
biasa jaminan kehebatannya. Sayang, jujur diakui bahwa kekuatan shalat yang
kita kerjakan belum pernah dirasakan selain untuk menggugurkan kewajiban saja.
Kita semua tentu
bersyukur masih terpanggil untuk menunaikan shalat lima waktu. Namun apa yang
kita dapatkan dari rukun Islam kedua ini?
Sebagian kita harus
mengaku bahwa rasa itu masih terlalu hambar. Bahkan nyaris hampa. Tidak ada
getaran apa-apa dalam diri usai mengerjakan shalat.
Rasanya kita belum
berhasil merehabilitasi mental dan jiwa. Sehingga perasaan dan suasana hati
seolah tidak berbeda antara shalat dan diluar shalat. Padahal shalat adalah
wahana kontak dan komunikasi secara langsung antara hamba dengan penciptanya.
Kondisi demikian
tentu indikasi bahwa shalat tersebut belum menghasilkan apa-apa. Kecuali gugurnya
kewajiban saja.
Momentum
Setali tiga uang,
kondisi serupa sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Kaum non-Muslim juga
tengah menghadapi persoalan yang tak kunjung ada habisnya.
Peradaban materialisme
dan kapitalisme yang diusung oleh negara-negara besar sedang menuju titik
jenuh. Masyarakat Barat dilanda krisis moral. Dimana-mana terjadi demontrasi. Rakyat
mulai menggeliat. Mereka perlahan muak dan jijik dengan slogan kebebasan yang
digaungkan selama ini. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen
muncul, sebagai bentuk protes kebijakan para penguasa.
Sejumlah keresahan
ini tentu harus ditangkap sebagai peluang dan tantangan. Jika masyarakat dunia
mulai resah, lalu apa yang Islam tawarkan dan sodorkan pada mereka?
Ini bukan sekadar yang terbilang
strategis. Lebih dari itu, ini adalah tanggung jawab Islam menebar pesona
sebagai rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.
Tak perlu menghabiskan waktu mengurus
persoalan yang sifatnya remeh-temeh. Cukup fokus saja memunculkan pesona Islam
tersebut sebagai kekuatan dan jaminan kemenangan.
Dengan kesadaran panggilan iman dalam
merehabilitasi mental dan kondisi umat Islam, maka bukan hal fantastis atau
mustahil Allah swt berkenan memberikan bantuan dan pertolongan-Nya. Yakni
mengubah nasib umat Islam menjadi pemenang sekaligus mengatur setiap urusan
dalam kehidupan manusia.
Di sinilah pentingnya kalimat
syahadat benar-benar diresapi oleh jiwa-jiwa setiap Muslim. Masalahnya, harus
jujur diakui pula, kita belum mendalami secara intensif dan serius kajian Islam
tentang potensi kekuatan syahadat. Kebanyakan, syahadat hanya dikenal sebagai
rukun Islam pertama saja. Tanpa tahu lebih jauh dahsyatnya kekuatan syahadat
itu. Padahal, jika ucapan ini betul-betul berkecambah niscaya akan melahirkan
satu sikap mental dan kesadaran yang luar biasa bagi setiap orang beriman.