Haruskah anak selalu mengetahui mengapa ia harus mengerjakan suatu pekerjaan atau suatu tugas yang diembankan kepadanya ?
Ada situasi
mendesak di mana seorang anak dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah
kita tanpa penjelasan mengapa itu penting dilakukan. Akan tetapi dalam banyak
kesempatan kita harus menjelaskan alasan-alasan itu dengan tenang, bijak dan
penuh penghargaan, jika kita ingin si anak menuruti perintah kita.
Abdullah meminta ayahnya menggunakan mobil keluarga untuk berekreasi pada hari Kamis sore. Ayahnya menolak dengan mengatakan, Tidak! tanpa menjelaskan alasannya sama sekali. Abdullah merasa tidak suka dengan sikap kaku itu. Perasaan itu akhirnya muncul dalam bentuk reaksi terhadap ibunya dan menolak membantu ayahnya mengurusi taman depan rumah.
Jika saja ayah Abdullah mengatakan, ayah dan ibu telah mengatur rekreasi pada hari Kamis. Kita memang membutuhkan mobil, akan tetapi bensin kan mahal. Jadi lebih baik tidak menggunakan mobil kecuali untuk acara-acara tertentu. Dengan kalimat itu boleh jadi Abdullah memahami alasan ayahnya itu dengan lapang dada.
Upaya menghormati anak dengan cara meyakinkannya dan tidak melarang secara menyeramkan adalah hal yang sangat penting untuk kita pegang teguh. Berikut ini contoh lain yang menjelaskan betapa penting meyakinkan anak dan tidak membuatnya ketakutan, agar ia responsif terhadap kita.
Su'ad, gadis cilik berusia sembilan tahun. Ia ingin menggambar dengan tinta hitam yang akan ditempel pada majalah dinding sebagai tugas ekstrakurikuler di kelasnya. Dengan karyanya itu, ia akan mendapatkan nilai. Ia kemudian menemui ayahnya untuk meminta tinta hitam.
Ayahnya bisa saja menolak permintaan itu karena khawatir tinta itu tumpah mengotori karpet kamar dan susah untuk dibersihkan kembali. Sang ayah berfikir, jika ia melakukan hal itu maka pasti anaknya akan memberontak dan marah. Kemudian akan terjadi perdebatan sengit antara dirinya dan peuterinya. Atas dasar pertimbangan itu ia memutuskan untuk menjelaskan mengapa ia tidak mengizinkan menggunakan tinta itu dengan harapan si anak merasa puas menerima keputusannya.
"Bukankah lebih baik jika kamu menggunakan pensil warna? Sebab jika tinta ini tumpah, pasti akan mengotori karpet dan susah dibersihkan," kata sang ayah.
"Tapi aku ingin garis-garis yang indah dan jelas. Dan tinta hitam akan sangat membantuku. Aku mohon ayah, minta tinta itu," Su'ad menjawab.
"Tapi mungkin saja kamu malah merusak gambar yang kamu buat itu jika kamu tidak hati-hati menggunakannya. Terutama jika tinta itu tumpah. Jadi kamu terpaksa harus membuatnya lagi dari awal," jelas si ayah.
"Tidak, saya akan sangat hati-hati dan tinta itu tidak akan tumpah, " gadis itu bersikeras.
Akhirnya si ayah setuju seraya berkata, "Terserah kamu, kalau begitu. Silahkan ambil tinta dan pulpennya di meja ayah. Dan Ayah akan duduk di sini untuk mengawasimu. Kamu buat gambar itu di kertas draft. Cuma hati-hati.
Di situ Su'ad menarik kembali keputusannya. Ia khawatir malah membuang banyak waktu dalam melakukan percobaan menggambar. Ia juga berfikir kemungkinan ia akan merusak gambar yang dibuatnya sehingga harus membuatnya kembali dari awal.
Ia akhirnya mengatakan kepada ayahnya,"saya pikir Ayah benar saat mengatakan bahwa aku akan mengotori karpet. Saya lebih baik menggunakan pensil warna yang saya beli pekan lalu."
Kita melihat dalam kasus di atas, ayah Su'ad tidak melarang dengan cara yang menakutkan. Misalnya dengan mengatakan, kamu akan membiarkan botol tinta terbuka, seperti kebiasaan kamu dan lalu tumpah. Atau kamu kadang-kadang lalai sehingga tinta tumpah di karpet dan merusaknya. Melainkan ia memilih cara yang meyakinkan anaknya sembari mempertimbangkan perasaannya, dengan mengatakan, "tapi mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat itu jika kamu tidak hati-hati dalam menggunakannya. Terutama jika tinta itu tumpah. Sehingga kamu terpaksa harus membuatnya lagi dari awal.
Artinya si
ayah membuat anaknya memutuskan sendiri untuk menghindari menggunakan tinta
hitam karena boleh jadi hanya akan merusak pekerjaan yang sudah ia mulai.
Perasaannya itu membuatnya berpikir untuk menarik gagasannya tanpa tekanan dari
ayahnya. Ia memilih sendiri cara yang lebih selamat dengan menggunakan pensil
warna.
Sejujurnya,
jika kita mencatat dialog kita dengan anak-anak sepanjang hari niscaya kita
akan melihat kenyataan bahwa Sebagian besar adalah intruksi dari kita untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut kita
biasanya tidak lebih dari misalnya,
“Cepat
pakai baju!”
“Baju kamu
kotor, cepat ganti dengan yang lain!”
“Itu
makananmu. Cepat makan!”
“Duduklah
dengan baik!”
“Pergi dan
sisirlah rambutmu yang acak-acakan itu!”
“Cepat jika
tidak kamu akan terlambat!”
“Bereskan
mainanmu!”
“Mulai
lakuka PR!”
“Bangun dan
mandilah!”
“Biarkan
adikmu dan jangan ganggu dia!”
“Sana,
pergi tidur!”
Jadi, dari
rekaman itu jelaslah bahwa omongan kita kepada anak kita lebih banyak
perintah-perintah. Lalu mengapa kita merasa heran jika mereka pura-pura tidak
mendengar dan tidak mengikuti perintah-perintah itu?
Namun ada
satu hal yang tidak boleh dilupakan. Betul bahwa kita perlu membuat anak dapat
menerima dan memahami segala perintah kita. Namun itu bukan berarti kita harus
diam jika si anak menolak perintah atau larangan kita. Sebab bila membiarkannya
mengikuti nafsu, maka akan sangat merusaknya.
Apa jadinya
bila segala pengalaman di bumi telah menetapkan satu hal sementara si anak
tidak juga mau menerimanya karena pengalaman dirinya terbatas, sehingga ia
tidak dapat menjangkau hikmah darinya? Akankah kita biarkan anak kita
meninggalkan hal yang wajib dan pasti, yang kita ketahui lewat pemahaman dan
pengalaman kita, bila tidak dilaksanakan akan membahayakan, dengan alasan
karena si anak belum bisa menerimanya secara yakin? Lalu kita mengklaim bahwa
itulah metode Pendidikan modern ?
Dari
manakan muncul berbagai penyimpangan para pemuda di negara-negara maju jika
bukan karena mereka “belum dapat menerima” nilai-nilai, akhlak, dan
prinsip-prinsip kebenaran?