Kegilaan yg sempurna bukanlah kesimpulan yg mengada-ada, jika disematkan
kepada para santri Hidayatullah yg ditugaskan ke berbagai daerah, asal saja
mereka tahu, seperti apa proses pendidikan yg telah dilalui selama nyantri di
Gn. Tembak.
Yg pertama kali disadari oleh para kader setiba di daerah, saat orang mulai
mengenalnya sebagai petugas Hidayatullah yg akan mendirikan cabang di daerah
tersebut, adalah berubahnya status dari seorang santri menjadi Ustadz.
Gelar Ustadz yg disandang, bahkan tidak sedikit yg menjadi pimpinan pesantren meskipun berstatus cabang, tentu saja
mangandung konsekwensi logis yg tidak ringan. Kalau sekedar merubah gaya dan penampilan, mulai dari cara berpakaian dan bertutur kata, yg tentu sangat berbeda ketika masih di Gn. Tembak, yg sehari-harinya berinteraksi dengan sesama santri, sebenarnya tidak berat-berat amat bahkan sangat ringan.Namun...
Situasinya sangat menegangkan, saat para kader di daerah diminta untuk
memimpin doa pada acara-acara formal, terkadang juga dipaksa menjadi imam
shalat, tak sebatas shalat duhur dan ashar tentunya, belum lagi harus ceramah
di berbagai forum, tak terkecuali menjadi khotib Jumat dan khotib hari raya.
Memimpin doa, ceramah, imam dan khotib, adalah sebuah episode yg mengandung
banyak kisah dramatis, mulai dari yg aneh (sulit dipercaya), lucu (sulit
menahan tawa saking gelinya), mencengangkan sebab diluar dugaan, sampai
ketingkat yg sangat mengharukan.
Sekelumit kisah pengalaman para kader, saat diminta memimpin doa, dengan
gaya yg dibuat sedemikian rupa agar meyakinkan, namun membuat kaget jamaah yg
paham, ketika doa hendak makan dan setelah makan ikut terbaca, tapi banyak juga
yg terpesona, sebab doanya sangat panjang dan lancar, padahal yg dibaca adalah
Surah Al-Mulk, yg merupakan hapalan umum para santri, karena menjadi
"wirid wajib" ba'da isya di setiap kampus kala itu.
Lanjut tulisan ke Dua Belas klik 👉👉di sini