Pada paragraf terakhir tulisan keempat kemarin, sangat mungkin untuk disalah
pahami, seolah para kader Hidayatullah yg saat ini bergelut dalam dunia
pendidikan formal, di mana hasilnya ditandai dengan selembar ijazah plus gelar
yg mengiringinya, adalah gambaran sosok kader yg telah menyimpang dari khittah
Hidayatullah.
Namun, jika melihat konteks tulisan secara utuh, akan mudah dimengerti, bahwa sikap dan ketegasan Allahu Yarham terkait soal tersebut, yg berimbas kepada seluruh kader pada masa itu, salah satu faktornya karena persoalan skala prioritas.
Sudah sangat sering terungkap, bagaimana jadinya Hidayatullah, kalau masa
perintisan dan pertumbuhan, lantas fokusnya justru pada eksisnya lembaga
pendidikan formal. Akan makin mengerikan, jika para pengelolanya tidak cukup
kuat bertahan, menghadapi gelombang arus materialisme yg terus makin menggila.
Banyak persoalan mendasar yg sangat urgen untuk menjadi perhatian kita
bersama, khususnya pada lembaga pendidikan formal, agar alumni yg ditelorkannya
tidak menyerupai keledai sebagaimana firman Allah pada QS. 62 : 5. Hal tersebut
sangat mungkin terjadi, jika sejak awal pondasi penopangnya tidak memadai.
Tidak sedikit (kalau tidak mau dikatakan semua) orang yg hanya melihat dan
mendengar secara sekilas, bagaimana cara pengelolaan lembaga pendidikan formal
di zaman Allahu Yarham, khususnya di kampus yg sekarang dinamai sebagai Kampus
Induk Gunung Tembak, penilaiannya tak lebih dari sekedar lembaga
"sampah", yg tentu saja para alumninya sudah bisa dibayangkan,
bagaimana wujud akhirnya.
Bukanlah hal yg mengeherankan, jika pada masa awal Hidayatullah, khususnya
lembaga pendidikannya, bukan lagi hanya dilirik sebelah mata, bahkan sampai ke
tingkat menjijikkan untuk dilihat. Maka tak heran, mayoritas para santri
pendidikan kala itu, hanyalah kumpulan orang-orang yg memang tidak sanggup
berkompetisi dengan murid-murid lain di berbagai sekolah, apa lagi yg masuk
kategori favorit.
Ketidak sanggupan seorang murid berkompetisi di berbagai sekolah, umumnya
karena faktor ekonomi, kapasitas otak yg kurang memadai, dan ada juga karena
faktor fisik, tak terkecuali yg bandelnya tidak ketulungan, sehingga orang
tuanya sudah menyerah. Karenanya, Hidayatullah menjadi tempat pelarian
terakhir.