Ditanam Tak Tumbuh, Dipupuk Tak Berkembang
Hati ibarat tanah. Di atas tanah itulah kita harus menanamkan iman
disusul adab. Tetapi tanaman baik akan sulit tumbuh, atau bahkan tidak tumbuh,
jika tanahnya mati. Tidak ada kesuburan didalamnya. Atau sebaliknya, tanahnya
subur tetapi tidak kita semaikan benih yang baik, maka di atas tanah itu tidak
tumbuh tanaman yang baik.
Tanah subur yang Bernama hati disebabkan oleh perhatian, kasih sayang,
dan terpenuhinya kebutuhan jiwa maupun perasaan anak. Jika anak telah terpenuhi
kebutuhannya, kenyang secara psikologis dan emosional, barulah kita menanamkan
dan menyuburkan kebaikan pada diri anak. Ini pula yang menjadi bekal awal
sebelum membangun ar-raqabah adz-dzatiyah pada diri anak, yakni
kemampuan sekaligus kesadaran untuk mengawasi, memantau, memperhatikan, memilih
yang baik dan yang buruk, lalu memilih yang baik untuk ia ambil dan lakukan
dalam kehidupan.
Ar-raqabah adz-dzatiyah terasa semakin penting di masa Ketika anak
memungkinkan mengakses apa saja melalui benda kecil dalam genggaman. Lalu apa
kuncinya? Mari kita perhatikan terjemahan penting yang digariskan dalam buku Ta’zizu
Ar-Raqabah Adz-Dzatiyah Lil Athfal karya Noura binti Mishfir Al-Qarni:
“Mengenyangkan kebutuhan psikologis dan emosional anak, serta
mengembangkan kebaikan-kebaikan maupun kualitas pribadi yang patut pada diri
anak.”
Jadi, kenyangkan dulu kebutuhan psikologi dan emosional anak terlebih
dahulu, baru sesudah itu mengembangkan kebaikan maupun sifat-sifat bawaan yang
patut pada diri anak. Jadi, kebaikannya dulu, jangan terburu-buru pada soal
kemampuan. Kemudian sifat-sifat bawaannya. Ini juga sekaligus menunjukan bahwa
sifat bawaan itu bukan fitrah.
Mari kita ingat Kembali firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada
malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, mereka tidak pernah menentang perintah
Allah dan selalu mengamalkan perintahnya.” (QS. At_tahrim : 6)
Dan mari kita renungkan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
berkenaan dengan makna menjaga keluarga dari api neraka, sebagaimana
dinukil dalam Tafsir Ibnu Katsir. Beliau berkata :
“(Makna menjaga keluarga dari api neraka adalah): Didikkanlah kepada
mereka adab dan ilmu.)”
Apa yang diperlukan agar kita dapat mendidikkan adab dengan baik? Yang
paling awal adalah memperlakukan mereka dengan adab yang baik. Seperti apa itu?
Muhammad bin Sirin Rahimahullah berkata:
“Muliakanlah anakmu dan baguskan adabnya.”
Nasehat itu singkat, padat dan bukan main konsekuensinya. Anak ditempatkan
begitu penting, sehingga kita harus memuliakannya. Lalu kapan kita disebut
memuliakan anak ? Apabila kita bergaul dengan mereka, mengasuh, membesarkan dan
mendidik mereka dengan akhlaqul karimah, menegakkan Layin dan menjauhkan
diri dari fazhzhan dan ghalizhal qalb. Dua hal terakhir ini,
meskipun seandainya seluruh keinginan mereka terhadap dunia kita penuhi,
anak-anak itu akan lari menjauh apabila orangtua mulutnya kasar terhadap anak
dan hatinya keras. Apalagi jika mulut kasar itu sekaligus kotor.
Ayat berikut ini memang bukan tentang mengasuh anak. Ayat ini tentang
dakwah dan ditujukan kepada sosok yang paling mulia akhlaqnya. Tetapi perhatikan
apa yang Allah Ta’ala sampaikan jika fazhzhan dan ghalizhal qalb itu
ada ? Manusia akan lari menjauh. Dan Allah Ta’ala firmankan bahwa atas
Rahmat-Nya maka Rasulullah saw dapat berlaku lemah lembut terhadap orang-orang
yang menjadi seruan dakwah beliau.
Mari kita perhatikan ayat tersebut:
“Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran : 159)
Perhatikan ! ada hal sangat penting yang perlu kita garis bawahi. Dua sikap
yang apabila melekat pada diri seseorang. Maka manusia akan menjauh darinya. Maka
apa yang terjadi jika seorang ayah menghimpun dua keburukan itu dalam dirinya
saat mengasuh, bergaul dan mendidik anaknya??! Kata-kata kasar, sikapnya buruk
dan hatinya keras. Apakah akan berlaku pada anak-anak itu ??!
Ibarat buah, Ditanam tak tumbuh, dipupuk dengan nasihat maupun kucuran ilmu
pun tak berkembang, sebab lahan jiwa mereka gersang dan hatinya nyaris mati. Sikap
kasar menjadikan adab yang baik sulit tumbuh. Seperti kata Ibnu Sirin Rahimahullah
berkata:
“Muliakanlah anakmu dan baguskan adabnya.” Jadi, muliakan adabnya.