Menjadikan shalat fardhu berjamaah dan qiyamullail sebagai kebutuhan, bagi
kader Hidayatulllah bukan sebatas karena merasakan kenikmatan spiritual, dan
juga bukan karena iming-iming pahala, melainkan buat mengundang Allah untuk
membersamai dalam menjalankan tugas-tugas kekhalifahan.
Keinginan kuat Allahu Yarham mengantarkan kader sampai ke level itu, maka
kampus Gn. Tembak dirancang sedemikian rupa, termasuk kontrol atas seluruh
aktivitas penghuninya, baik saat melakukan kegiatan pribadi, apa lagi yg
berkaitan dengan amanah yg diberikan.
Salah satu sumber inspirasi utama, atas upaya mencetak kader yg sesuai
harapan, khususnya dalam masa-masa perintisan dan pertumbuhan, adalah rangkaian perjalanan hidup Rasulullah sebelum menerima wahyu, yg lebih dikenal dengan istilah fase pra wahyu.Penekanan pada fase pra wahyu di awal-awal perlangkahan, membuat pendidikan
formal klasikal tidak menjadi prioritas, bahkan keberadaannya terkesan hanya
formalitas, sehingga banyak cerita unik lagi lucu yg menyertainya, karena
sangat jauh berbeda dengan standar umum sebuah institusi pendidikan formal.
Sekilas mungkin menimbulkan pertanyaan, buat apa diadakan kalau memang
hanya formalitas?, salah satu jawabannya, karena keberadaan intitusi pendidikan
formal saat itu, diibaratkan sarang laba-laba yg menutupi pintu Gua Tsur, saat
nabi bersama Abu Bakar bersembunyi di dalamnya, sehingga pihak eksternal bisa
menerima dan yakin, kalau Hidayatullah memang sebuah pesantren.
Penjelasan di atas, sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan, kenapa
banyak santri yg "goncang" (istilah khas Gn. Tembak saat itu) bahkan
kemudian pergi meninggalkan kampus, karena apa yg dia saksikan dan rasakan,
sangat jauh dari bayangannya tentang kehidupan santri di pondok pesantren.
Lanjut tulisan ke Sembilan klik 👉👉di sini